Oleh : Ust. Musyaffa AbdurRahim,
Lc.
**
Tersebutlah dalam buku-buku
sejarah bahwa khalifah Umar bin Abdul Aziz, yang terkenal juga sebagai khalifah
Ar-Rasyid yang kelima, telah berhasil merubah gaya obrolan masyarakatnya.
Pada masa khalifah sebelumnya,
obrolan masyarakat tidak pernah keluar dari materi dan dunia, di manapun mereka
berada; di rumah, di pasar, di tempat bekerja dan bahkan di masjid-masjid.
Dalam obrolan mereka
terdengarlah pertanyaan-pertanyaan berikut, “Berapa rumah yang sudah engkau
bangun? Kamu sudah mempunyai istana atau belum? Budak perempuan yang ada di
rumahmu berapa? Berapa yang cantik? Hari ini engkau untung berapa dalam berbisnis?
Dan semacamnya.”
Pada zaman khalifah Umar bin
Abdul Aziz menjadi pemimpin, dan setelah dia melakukan tajdid (pembaharuan) dan
ishlah (reformasi), dimulai dari meng-ishlah dirinya sendiri, lalu istrinya,
lalu kerabat dekatnya dan seterusnya kepada seluruh rakyatnya, berubahlah pola
obrolan masyarakat yang menjadi rakyatnya.
Dalam obrolan mereka,
terdengarlah pertanyaan-pertanyaan sebaai berikut, “Hari ini engkau sudah
membaca Al Qur’an berapa juz? Bagaimana tahajjud-mu tadi malam? Berapa hari
engkau berpuasa pada bulan ini? Dan semacamnya.”
Mungkin diantara kita ada yang
mempertanyakan, apa arti sebuah obrolan? Dan bukankah obrolan semacam itu
sah-sah saja? Ia kan belum masuk kategori makruh? Apalagi haram? Lalu, kenapa
mesti diperbincangkan dan diperbandingkan? Bukankah perbandingan semacam ini
merupakan sebuah kekeliruan, kalau memang hal itu masuk dalam kategori mubah?
Dari aspek hukum syar’i, obrolan
yang terjadi pada masa khalifah sebelum Umar bin Abdul Aziz memang masuk
kategori hal-hal yang sah-sah saja, artinya, mubah, alias tidak ada larangan
dalam syari’at.
Akan tetapi, bila hal itu kita
tinjau dari sisi lain, misalnya dari tinjauan tarbawi da’awi misalnya, maka hal
itu menujukkan bahwa telah terjadi perubahan feeling pada masyarakat, atau bisa
juga kita katakan, telah terjadi obsesi pada ummat.
Pada masa Sahabat (Ridhwanullah
‘alaihim), obsesi orang (dengan segala tuntutannya, baik yang berupa feeling
ataupun ‘azam, bahkan amal) selalu terfokus pada bagaimana menyebar luaskan
Islam ke seluruh penjuru negeri, dengan harga berapapun, dan apapun, sehingga,
pada masa mereka Islam telah membentang begitu luas di atas bumi ini. Namun,
pada masa-masa menjelang khalifah Umar bin Abdul Aziz, obsesi itu telah
berubah.
Dampak dari adanya perubahan ini
adalah melemahnya semangat jihad, semangat da’wah ilallah, semangat
men-tarbiyah dan men-takwin masyarakat agar mereka memahami Islam,
menerapkannya dan menjadikannya sebagai gaya hidup.
Al Hamdulillah, Allah swt
memunculkan dari hamba-Nya ini orang yang bernama Umar bin Abdul Aziz, yang
mampu memutar kembali “gaya” dan “pola” obrolan masyarakatnya, sehingga, kita
semua mengetahui bahwa pada masa khalifah yang hanya memerintah 2,5 tahun itu,
Islam kembali jaya dan menjadi gaya hidup masyarakat.
Tersebut pula dalam sejarah
bahwa beberapa saat setelah kaum muslimin menguasai Spanyol, ada seorang utusan
Barat Kristen yang memasuki negeri Islam Isbania (Nama Spanyol saat dikuasai
kaum muslimin).
Tujuan dia memasuki wilayah
Islam adalah untuk mendengar dan menyaksikan bagaimana kaum muslimin mengobrol,
ya, “hanya” untuk mengetahui bagaimana kaum muslimin mengobrol. Sebab dari
obrolan inilah dia akan menarik kesimpulan, bagaimana obsesi kaum muslimin saat
itu.
Selagi dia berjalan-jalan untuk
mendapatkan informasi tentang gaya kaum muslimin, tertumbuklah pandangannya
kepada seorang bocah yang sedang menangis, maka dihampirilah bocah itu dan
ditanya kenapa dia menangis? Sang bocah itu menjelaskan bahwa biasanya setiap
kali dia melepaskan satu biji anak panah, maka dia bisa mendapatkan dua burung
sekaligus, namun, pada hari itu, sekali dia melepaskan satu biji anak panah,
dia hanya mendapatkan seekor burung.
Mendengar jawaban seperti itu,
sang utusan itu mengambil kesimpulan bahwa obsesi kaum muslimin Isbania
(Spanyol) saat itu masihlah terfokus pada jihad fisabilillah, buktinya, sang
bocah yang masih polos itu, bocah yang tidak bisa direkayasa itu, masih melatih
diri untuk memanah dengan baik, hal ini menunjukkan bahwa orang tua mereka
masih terobsesi untuk berjihad fisabilillah, sehingga terpengaruhlah sang bocah
itu tadi.
Antara obrolan orang tua dan
tangis bocah yang polos itu ada kesamaan, terutama dalam hal: keduanya
sama-sama meluncur secara polos dan tanpa rekayasa, namun merupakan cermin yang
nyata dari sebuah obsesi.
Setelah masa berlalu
berabad-abad, datang lagi mata-mata dari Barat, untuk melihat secara dekat
bagaimana kaum muslimin mengobrol, ia datangi tempat-tempat berkumpulnya
mereka, ia datangi pasar, tempat kerja, tempat-tempat umum dan tidak
terlupakan, ia datangi pula masjid.
Ternyata, ada kesamaan pada
semua tempat itu dalam hal obrolan, semuanya sedang memperbincangkan, “Budak
perempuan saya yang bernama si fulanah, sudah orangnya cantik, suara
nyanyiannya merdu dan indah sekali, rumah saya yang di tempat anu itu,
betul-betul indah memang, pemandangannya bagus, desainnya canggih, luas dan
sangat menyenangkan”, dan semacamnya.
Merasa yakin bahwa gaya obrolan
kaum muslimin sudah sedemikian rupa, pulanglah sang mata-mata itu dengan penuh
semangat, dan sesampainya di negerinya, mulailah disusun berbagai rencana untuk
menaklukkan negeri yang sudah delapan abad di bawah kekuasaan Islam itu. Dan
kita semua mengetahui bahwa, semenjak saat itu, sampai sekarang, negeri itu
bukan lagi negeri Muslim.
Saudara-saudaraku yang
dimulyakan Allah, betapa seringnya kita mengobrol, sadarkah kita, model manakah
gaya obrolan kita sekarang ini?
Sadarkah kita bahwa obrolan
adalah cerminan dari obsesi kita?
Sadarkah kita bahwa obrolan kita
lebih hebat pengaruhnya daripada sebuah ceramah yang telah kita persiapkan
sedemikian rupa?
Bila tidak, cobalah anda reka,
pengaruh apa yang akan terjadi bila anda adalah seorang ustadz atau da’i, yang
baru saja turun dari mimbar khutbah, khutbah Jum’at dengan tema: “Kezuhudan
salafush-Shalih dan pengaruhnya dalam efektifitas da’wah”.
Sehabis shalat Jum’at, anda
mengobrol dengan beberapa orang yang masih ada di situ, dalam obrolan itu, anda
dan mereka memperbincangkan. Bagaimana mobil Merci anda yang hendak anda tukar
dengan BMW dalam waktu dekat ini, dan bagaimana mobil Pajero puteri anda yang
sebentar lagi akan anda tukar dengan Land Cruiser, dan bagaimana rumah anda
yang di Pondok Indah yang akan segera anda rehab, yang anggarannya kira-kira
menghabiskan lima milyar rupiah dan semacamnya.
Cobalah anda menerka, pengaruh
apakah yang akan terjadi pada orang-orang yang anda ajak mengobrol itu? Mereka
akan mengikuti materi yang anda sampaikan lewat khutbah Jum’at atau materi yang
anda sampaikan lewat obrolan?
Sekali lagi, memang obrolan
semacam itu bukanlah masuk kategori “terlarang” secara syar’i, akan tetapi,
saya hanya hendak mengajak anda memikirkan apa dampaknya bagi da’wah ilallah.
Saudara-saudaraku yang
dimulyakan Allah… Sadarkah kita bahwa telah terjadi perubahan besar dalam gaya
obrolan kita antara era 80-an dengan 90-an dan dengan 2000-an, obrolan yang
terjadi saat kita bertemu dengan saudara seaqidah kita, obrolan yang terjadi
antar sesama aktifis Rohis di kampus dan sekolah masing-masing kita.
Saat itu, obrolan kita tidak
pernah keluar dari da’wah, da’wah, tarbiyah dan tarbiyah, namun sekarang?
Silahkan masing-masing kita
menjawabnya, lalu kaitkan antara gegap gempita da’wah dan tarbiyah saat itu
dengan seringnya kita mendengar adanya dha’fun tarbawi di sana sini.
sumber :evakurniawan.wordpress.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar